Personil Intel Kodim Bolmong Bantah Keras Tidak Pernah  Mengaku Anggota BIN! Ini Tanggpaan Ketua PWI Sulut


Manado,Swarkawanua.id-Terkait pemberitaan dugaan aktivitas tambang emas ilegal di Bolsel yang ikut menyere nama Personil Intel TNI AD 1303 Kodim Bolmong yakni lelaki Frangky Nento yang disebut-sebut mengaku anggota Badan Intelejen Nasional (BIN), dibantah keras yang bersangkutan.

Bahkan Personil Kodim Bolmong 1303  geram dirinya diberitakan sebagai Badan Intelijen Negara (BIN),  karena yang bersangkutan memang benar tidak pernah mengaku sebagai Anggota BIN kepada Wartawan bahkan siapapun.

Frangky Nento saat memberikan hak jawab Senin (9/6/2025) malam mengungkapkan, bahwa Dia marah besar atas pemberitaan yang menulis bahwa dirinya mengaku ke Wartawan inisial MRN alias Nasution sebagai anggota BIN.

“Saya marah dan geram ditulis tentang sesuatu yang tidak pernah keluar dari mulut saya. Kalau saya salah, itulah yang ditulis. Bukan menulis hal yang tidak pernah keluar dari mulut saya,” ungkap Nento tegas.

Dia bahkan meminta pihak-pihak yang dapat membuktikan ucapannya yang berisikan pengakuannya sebagai anggota BIN.

“Saya akan bayar kalau ada yang mampu buktikan,nya. Kalau si Nasution mampu buktikan bahwa saya pernah ngaku BIN, silahkan buktikan, saya pasti bayar. Bicara BIN saja tidak, masakan saya ditulis BIN palsu,” kata Nento.

Mengenai pertemuannya dengan wartawan MR Nasution di Swissbell Hotel Manado, Nento keberatan disebut menjebak wartawan.

Sebaliknya, dia menyatakan keberadaan dirinya dalam kapasitas sebagai orang yang diminta bantuan mendampingi menyelesaikan dirinya terseret-seret sebagai anggota BIN padahal bukan

Sialnya lagi, kata dia, berita-berita yang dimuat tanpa konfirmasi apalagi obyek foto di dalam berita tidak tepat sasaran.

Personil TNI-AD ini diminta orang yang merasa terganggu dengan tuduhan bermain tambang ilegal.

“Saya kapasitasnya hanya mendampingi dan memberikan informasi yang benar kepada wartawan. Bukan jebak menjebak,” ungkapnya.

Dia pun menambahkan, urusan yang berkaitan dengan wartawan Nasution bukan baru kali ini ketemu di Swissbell Hotel tapi sudah pernah di Bolmong.

“Karena kami mengenalnya, maka kami putuskan untuk menemui langsung,” jelas Nento.

Lantas siapa yang menghubungi Personil Polresta Manado yang kemudian mengamankan MR Nasution Minggu siang?

Menurut Nento, barangkali itu menyangkut kenyamanan dan memang sudah menjadi tugas kepolisian dalam kasus atau situasi tersebut.

“Sebenarnya wartawan Nasution tidak ditangkap, walaupun ada yang tidak fair di balik motif jurnalistik yang dibangunnya. Memang penawaran datang dari orang yang jadi korban pemberitaan. Kan wajar dong orang yang duduk diam tiba-tiba diberitakan miring, tanpa konfirmasi, merasa diserang sepihak kemudian dengan segala upaya memulihkan nama baiknya,” katanya.

Dia dikondisikan seolah-olah bersalah lewat berita-berita miring yang harus tidak terjadi. RSB ditempatkan dalam situasi yang benar-benar terpojok.

Dalam situasi ini, semua orang  butuh kenyamanan dan pengamanan. Kalau tok ada yang diamankan dalam situasi ini, itu berarti ada proses yang tidak fair dan merugikan orang lain.

“Kasarnya begini, anda tidur – tidur tapi dipukul orang. Giliran anda membela diri, anda dikondisikan untuk mengikuti keinginan si pemukul. Jadi intinya, kehadiran aparat kepolisian itu karena menjadi tugas perintah negara,” jelas Nento panjang lebar.

Di tempat terpisah, Plt Ketua PWI Sulut Vanny Loupatty melihat konflik jurnalistik yang menyeret wartawan MR Nasution dan kubu penambang dapat menjadi pelajaran bersama terutama bagi semua pegiat jurnalistik.

“Maksud saya, tunjukkan profesionalitas, integritas kita sebagai pelaku pers. Kemudian sesuatu yang menurut redaksi adalah investigasi, ya selesaikan itu dengan metodologi investigasi yang tuntas dan siap untuk disajikan,” ungkap Maemossa sapaan akrabnya.

Lanjut dia, tidak perlu ada keraguan kalau memang ada yang salah dan harus dibongkar ke publik sepanjang dapat dipertanggungjawabkan.

Jurnalistik menjadi sangat hina jika dikerjakan sepotong-sepotong dan hanya untuk menampar sejenak, lalu kemudian take down.

Ini bisa jadi preseden buruk bagi dunia jurnalistik dan terutama wartawan yang akan dengan mudah terseret dalam ancaman kriminalisasi.

“Jadi mari kita ambil hikmahnya, kita bangun jurnalistik yang lebih fair dan bermartabat,” tutup Maemossa. (Danz*).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *